Orang-orang soleh dan para kekasih Allah akan selalu dikenang oleh masyarakat meski mereka telah tiada. Itulah secuil pelajaran hidup yang penulis dapatkan dari perjalanan wisata religi ziarah ke makam Mbah Hamid di Pasuruan pada Minggu, 25 Februari 2018. Kegiatan ini menjadi salah satu rangkaian dari studi banding JQH Mojowarno ke TPQ Al-Firdaus Bangil. Perjalanan wisata religi dimulai dari parkir kendaraan bus di parkir wisata. Penulis masih ingat, parkir wisata dulu merupakan terminal lama Pasuruan. Beberapa tahun lalu terminal lama telah beralih fungsi menjadi parkir wisata. Terminal baru Pasuruan telah dibangun dan memiliki area lebih luas serta lebih baik kondisinya.
Dari lokasi parkir wisata, semua wisatawan yang akan melakukan ziarah disambut oleh puluhan tukang becak motor (bentor). Sebuah becak mampu memuat dua orang penumpang dan tarifnya sepuluh ribu rupiah per kendaraan. Jadi, kalau Anda naik berdua dengan teman, Anda bisa patungan lima ribuan. Sayangnya, saat itu penulis tidak kebagian becak sehingga terpaksa menggunakan jasa ojek sepeda motor. Tarif sewa ojek pun sama, yaitu Rp10.000 per kendaraan atau Rp5.000 berdua. Matahari siang itu terik sekali dan menyengat kulit. Agak menyesal juga mengapa penulis tidak pesan becak dari awal sehingga kepanasan sepanjang 10 menit dari parkir wisata ke Alun-alun Kota Pasuruan. Karena hari Minggu, suasana Alun-alun Pasuruan sangat ramai.
Penulis bergegas menuju gang kecil ke arah makam Mbah Hamid yang terletak di belakang Masjid Jami’ Alun-alun Pasuruan. Sesampai di dalam area makam, suasana tidak kalah ramai. Ratusan peziarah melantunkan doa. Beruntung sekali, penulis bisa berkesempatan masuk ke area makam utama yang mampu menampung tidak lebih dari 25 orang. Makam Mbah Hamid terletak di belakang Masjid Jami’ Pasuruan, tepatnya di depan bangunan imam. Tempatnya minimalis dan selalu terjaga kebersihan. Ziarah ke makam Mbah Hamid memberikan kesan tersendiri bagi penulis. Kegiatan ini mengingatkan penulis pada acara serupa yang penulis ikuti sekitar tahun 2012 lalu. Hanya saja ziarah kali ini penulis lakukan dengan tim yang berbeda.
Selesai berdoa, penulis menyempatkan diri memotret keadaan sekitar masjid. Kesan kuno dan unik sangat kental sekali. Bangunan lama peninggalan Mbah Hamid masih tetap dilestarikan. Jendela besar berwarna putih bergaya kolonial tampak mendominasi pandangan mata. Hampir tidak ada sentuhan modern di bangunan masjid terbesar di Pasuruan itu. Setelah puas berada di masjid. penulis lanjut ke hutan kota yang ada di tengah Alun-alun Pasuruan. Banyaknya pohon hijau tidak mengurangi sengatan matahari ke kulit. Berikutnya adalah perjalanan dari alun alun ke parkir wisata. Penulis ditantang teman satu tim untuk jalan kaki. Tidak masalah. Butuh waktu sekitar dua puluh menit jalan kaki. Melelahkan dan bikin ngos-ngosan. Meski demikian, penulis senang karena punya pengalaman baru.
Tinggalkan Balasan