Ini Kisahku Sebagai PPDP

Sholat Tarawih Pengganti Nge-gym di Fitness Center
Ayo Bersemangat Mengikuti Lomba Menulis Terbaru Tahun Ini!

Menjadi Petugas Pemutakhiran Data Pemilu (PPDP) bukanlah sebuah rencana dalam hidupku. Aku termasuk orang yang menghindarkan diri dalam kegiatan politik praktis dan petugas pemilihan umum. Dalam benakku, pemilu tak lebih permainan politik kotor untuk merebut kekuasaan. Politik adalah sisi gelap budaya manusia yang diterima masyarakat kejahatannya. Entah kenapa, pada akhir Desember 2017 lalu Pak Carik menyodoriku formulir pendaftaran PPDP dan aku bersedia mengikuti seleksi.

Sejak awal dijelaskan oleh Pak Carik bahwa pendataan pemilu oleh PPDP dilakukan dalam waktu sebulan. Aku membayangkan akan mampu melaksanakan kurang dari sebulan. Aku sudah terbiasa menjadi petugas humas yang wira-wiri door to door. Lalu pada 18 Januari 2018 dilaksanakan bimbingan teknis PPDP oleh PPK di kantor kecamatan. Aku terhenyak. Ternyata tugas PPDP begitu panjang dan cukup rumit. Aku merasa telah salah langkah dengan menerima pekerjaan sampingan ini. Bukan ku menganggap pekerjaan PPDP hina, hanya saja aku telah salah prediksi. Aku belum mampu mengukur kemampuanku sendiri sehingga terjebak dilema waktu. Ku kira jadwal PPDP dapat kupastikan selesai dalam seminggu, nyatanya banyak insiden yang muncul begitu saja dan merusak rencana awal.

Dengan kesibukanku mengajar di SD, mengajar di TPQ, mengajar di Sanggar Genius, dan memberi les privat sudah menyita banyak waktuku. Namun nasi telah menjadi bubur. Aku harus menerima konsekuensi dari pendaftaran itu. Tanggal 20 Januari 2018 dimulai kegiatan mencocokkan dan meneliti (coklit) secara serentak untuk warga dewasa di RT 01 dan RT 02 yang berjumlah 368 orang. Lokasi dua RT tersebut asing bagiku karena aku tinggal di RT 07. Aku seperti terlempar ke hutan belantara yang baru kujejakkan kaki. Orang-orang baru memandangku dengan tatapan aneh. Mengapa aku disana? Untuk apa aku disana? Sudah kawin atau belum? Punya anak berapa? Dan banyak pertanyaan lain terlontar dari mulut mereka.

Kedatanganku ke rumah-rumah warga berlangsung agak lama karena begitu banyak basa-basi terjadi. Aku khawatir tidak mampu mengelola waktu. Benar saja. Aku keteteran melakukan coklit. Pada sepuluh hari pertama aku hanya mampu menyelesaikan 63 persen pendataan. Lalu pada sepuluh hari kedua terkumpul data 89 persen. Baru pada tahap akhir aku bisa menyelesaikan 100 persen pendataan. Petugas PPDP lain di desaku sudah menyelesaikan pendataan pada tahap kedua.

Waktu sangat berharga. Aku sangat merasakan hal itu. Di tengah kesibukan mengajar, aku butuh penyegaran pikiran namun aku harus berjibaku dengan kunjungan door to door yang melelahkan. Aku berusaha menikmatinya, tapi aku tak bisa. Aku sering menyesal mengapa peran PPDP ini aku terima. Aku sering meninggalkan murid-murid di kelas untuk sebuah gaji enam ratus ribu yang tidak dapat kunikmati sepenuhnya. Sudahlah. Aku sudah melewati masa itu. Kini aku bisa fokus mengajar lagi. Politik memang melelahkan.


Comments

10 tanggapan untuk “Ini Kisahku Sebagai PPDP”

  1. Saatnya pak guru cari kerjaan sampingan. Semangat!

  2. Tidak masalah mas. Jalani saja asal halal. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yg memberi manfaat.

  3. Itu tandanya mas Agus kreatif membagi waktu. Jangan menyerah mas. Apapun kerjaannya asal halal ambil aja.

  4. Permata tetap akan bercahaya meski tertimbun lumpur. Skrg waktunya mas agus tampil sbg bintang kehidupan.

  5. Kang Agus jangan menyerah. Semua pilihan hidup pasti ada hikmahnya.

  6. Ilmu kemasyarakatan mas agus memang yahud.

  7. Avatar Mas Gagah
    Mas Gagah

    Coklit tahun ini ribet bgt gak kayak sebelum2nya.

  8. Selamat dan semoga selalu sehat menjalankan tugas sebagai PPDP. Mas Agus memang lincah dan kreatif.

  9. Avatar Hasan
    Hasan

    Jgn menyesali masa lalu. Pasti ada hikmahnya.

  10. Avatar Tomi
    Tomi

    Orang berkualitas akan selalu dicari walau tersembunyi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *