Tangisan Anak Rantau di Hari Raya

Siang itu, rumah kosong tanpa aura kegembiraan, halaman yang biasanya ramai dengan suara anak-anak bermain, kini hanya sunyi tak bersuara, langitpun begitu sedih, awan hitam menutupinya hingga terlihat kelam.

Anak rantau ini bertengger di sudut rumah kosong, sendiri, menangis. Sejak pagi, rasa kehilangan dan kejauhan dari kampung halaman terasa sangat menyakitkan. Tidak ada suara meriah, tak ada makanan lezat, tak ada kehangatan keluarga yang menjemput, hanya sebatang tubuhnya dan kesepian yang dibawa oleh Raya yang penuh kerinduan.

Dia merindukan ibu, ayah, kakak, adik, dan semua keluarga di kampung halaman. Rumah ketika Raya itu sangatlah meriah, tidak kurang dari tiga puluh orang. Mereka berkumpul, bercerita, dan tertawa bersama. Tak ada yang bisa mengikutinya untuk pulang ke kampung halaman, jadi ia terpaksa merayakan Idul Fitri di rumah kontrakan kosong seperti anak terbuang. Dan juga, melihat teman-temannya memperingati Idul Fitri di rumah bersama keluarga mereka membuat semakin terasa kesendirian.

Hari terus berjalan dan dia tak punya pilihan lain selain memandangi langit kelam dari jendela rumah kosong itu. Ia tetap berharap ada yang menjemputnya, tapi penuh harapan gugur saat matahari selesai terbenam.

Matahari terbenam, kerinduan meronta, namun anak rantau ini harus terus berjuang. Ia harus bertahan dan memikirkan agar bisa pulang ke kampung halaman tahun depan agar dapat merayakan Idul Fitri bersama keluarga dan semua orang yang ia cintai.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *