Akhir November 2016 menjadi masa yang menyibukkan bagi saya. Dua perhelatan Maulid Nabi digelar pada dua lembaga pendidikan tempat saya mengabdi. Jika lomba-lomba Maulid Nabi di SDN Latsari bisa dilaksanakan dalam perencanaan yang terstruktur, maka kondisinya makin kompleks saat menyiapkan ajang sejenis di tingkat dusun. Begitu banyak pertimbangan dan tarik menarik kepentingan terlibat di dalamnya.
Sesuai musyawarah para pengajar TPQ di Dusun Guwo, akhir tahun ini akan digelar lomba-lomba agama Islam. Saya memberinya nama Pemanah Kalbu, Pekan Maulid Nabi Muhammad Karya Anak Latsari Beriman dan Unggul. Terdapat sebelas lomba yang disiapkan panitia untuk diikuti para peserta. Peserta ajang Pemanah Kalbu sebanyak 200 santri dari TPQ Al-Mujahiddin, TPQ Baitur Rahman dan TPQ Baitur Rakhim.
Mengelola ratusan santri bukanlah perkara sulit. Mereka adalah anak-anak yang antusias menyambut aneka lomba sesuai bakat dan minat mereka. Anak-anak tampak tidak sabar menunggu datangnya waktu lomba tanggal 10 sampai 12 Desember 2016. Hampir setiap hari mereka berkonsultasi terkait petunjuk teknis lomba. Saya optimis misi dakwah Islam di dusun ini mulai menemukan titik terang. Hal itu ditunjang oleh daya dukung orang tua yang melimpah.
Hambatan kesuksesan Pemanah Kalbu justru berasal dari tokoh agama setempat. Beliau adalah guru agama terpandang di desa. Bukannya memberi contoh dan keteladanan yang baik, sesepuh tersebut malah berniat mengacaukan acara. Sejak awal konsep acara dibuat sudah saya antisipasi dengan segala bentuk tindakan mengalah. Undangan musyawarah saya berikan sendiri ke rumah beliau. Beliau tidak bersedia hadir tanpa alasan yang jelas.
Belakangan diketahui bahwa beliau menyimpan dendam terhadap saya yang dianggapnya tidak pro pemikirannya untuk acara yang sudah dilaksanakan dua tahun lalu. Saya tidak ambil pusing sifat kekanak-kanakannya itu. Saya tetap memasukkan beliau ke dalam jajaran dewan juri lomba. Entah nanti beliau akan hadir di acara atau tidak, itu hak beliau. Yang penting saya berusaha merangkul beliau dengan segala bentuk keterbatasan yang panitia miliki.
Kedewasaan berpikir dalam hidup bermasyarakat diperlukan para pemangku kepentingan dalam hal apapun. Terlebih lagi ketika berdakwah menyebarkan agama dan mengajarkan kebaikan kepada anak-anak. Mereka adalah pecontoh terbaik setiap tindakan manusia. Baik dan buruk adalah perilaku manusia yang bisa menjadi referensi terdekat bagi anak. Semoga anak-anak hanya tahu nilai kebaikan saja tanpa perlu menduplikat sisi buruk para orang tua dan guru mereka.
Tinggalkan Balasan