
Masih teringat dengan jelas kejadian sepekan yang lalu. Peristiwa mengerikan yang tak pernah terbayangkan dalam benak kurang lebih seribu warga Dusun Guwo. Rabu, 17 Januari 2018 lalu angin puting beliung menyapu Dusun Sidoluwih, Dusun Guwo dan Dusun Bayeman. Bencana alam ini menyebabkan 2 orang warga meninggal dunia dan beberapa orang terluka.
Penulis tidak akan menceritakan betapa angin itu mampu memporak-porandakan dua dusun tetangga. Biarlah cerita pilu itu terkubur rapat dalam benak mereka. Ada sisi lain yang perlu penulis ungkapkan disini.
Ketika kejadian hujan es batu disertai angin puting beliung, penulis sedang mengikuti rapat PPDP di kantor Kecamatan Mojowarno. Sekitar pukul tiga sore sejumlah ayam membuat suara berisik. Ayam jantan berkokok. Ayam betina mengeluarkan suara petok-petok berulang kali. Kandang ayam itu berada tak jauh dari tembok selatan kantor tempat penulis mengikuti rapat.
Tidak ada yang menduga kejadian beberapa menit kemudian. Kiranya suara berisik hewan-hewan tersebut menjadi pertanda datangnya musibah. Tak lama kemudian awan hitam memenuhi angkasa. Cuaca berubah dengan cepat. Gelap dan berangin. Hujan turun dengan deras. Suara kemlotak hujan terdengar menakutkan. Kiranya hujan badai mengamuk Mojowarno.
Beberapa detik kemudian angin kencang menerbangkan slide proyektor. Gubrak! Hadirin terkejut. Disusul kemudian listrik padam. Untungnya angin itu berlangsung tidak lama. Setengah jam kemudian hujan reda. Penulis beranjak meninggalkan rapat karena acara telah usai.
Duh, kenapa rapat dilakukan sore hari waktu mengajar TPQ Al Mujahiddin. Penulis menyesal sekali atas ketidaknyamanan. Apalagi cuaca badai seperti ini pasti para santri terlunta-lunta di masjid. Disinilah penulis prihatin sebagai guru tunggal yang meninggalkan kewajiban mengajar.
Ah sudahlah. Semua kegalauan itu belum seberapa. Saat penulis mengendarai sepeda motor dari Mojowarno ke Guwo, banyak pohon besar tumbang ke jalan raya. Semakin cemas hati ini. Mungkin telah terjadi sesuatu di rumah.
Tak pelak, ketika penulis masuk rumah terlihat atap berlubang besar. Ternyata genteng asbes di ruang tengah tidak mampu menahan guyuran air hujan es dan sapuan angin puting beliung. Tidak bisa dihitung lagi berapa ember air yang tercurah dari langit masuk ke dalam kamar.
Sore itu penulis dan beberapa orang membenahi atap yang rusak. Belum pernah ada kejadian seperti ini di Guwo. Sungguh peristiwa ini membuat kami shock.
Belum berhenti sampai disitu, tak lama kemudian terdengar kabar bahwa seorang bayi terluka akibat kejatuhan atap rumah. Bayi itu tak lain adalah keluarga Masrur, salah satu alumni murid Sanggar Genius binaan Yatim Mandiri. Kisah duka ini terus mendapat simpati dari masyarakat.
Setiap sore kini warga Guwo selalu waspada. Semua khawatir bila angin ribut itu datang lagi. Semua percaya bahwa bencana angin ribut punya jalur peredaran. Ketika Guwo sudah dilewati sekali, ada kemungkinan akan datang lagi.
Ketakutan juga melanda para santri yang saya ajar di TPQ. Mereka kerap cemas berangkat mengaji saat cuaca hujan. Khawatir akan terjadi bencana serupa, banyak santri yang bolos belajar selama sepekan terakhir. Teror angin puting beliung masih terjadi dalam benak mereka.
Bencana memang tidak dapat ditolak. Namun berkaca dari peristiwa ini setidaknya kita jadi ingat Tuhan dan takut pada kuasa Tuhan. Bencana di Guwo pun disusul gempa bumi di Jakarta kemarin Selasa, 23 Januari 2018.
Beberapa berita di grup WA menyatakan ada manusia indigo yang memiliki penglihatan akan ada lagi bencana di Pulau Jawa. Entah benar atau tidak, pastinya kita tahu dunia semakin tua dan kerusakan ekologi mempengaruhi frekuensi terjadinya bencana di muka bumi.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kejadian ini.
Tinggalkan Balasan