Hai blogger Jombang! Pada artikel sebelumnya blog The Jombang Taste sudah membahas sejarah Pangeran Cakraningrat dari Madura. Mari kita lanjutkan penelusuran sejarah budaya di Pulau Madura. Keraton Lawangan Daya adalah tempat wisata di Madura yang sangat terkenal. Bagaimana asal-usul Keraton Lawangan Daya? Berikut ini artikel selengkapnya.
Cerita Keraton Lawangan Daya merupakan kisah bersejarah yang akan membuka asal usul dan sejarah kebudayaan di tanah Madura. Pada zaman dahulu kala, konon Raja Majapahit yang terakhir sempat mengangkat salah seorang putranya menjadi Kami Tuwo (semacam kepala desa) di pesisir Pulau Madura. Daerah ini sekarang dikenal sebagai Kabupaten Sampang. Putra Raja Majapahit yang memimpin wilayah Sampang tersebut bernama Ki Ario Lembu Peteng.
Di dalam Babad Madura disebutkan bahwa Ki Ario Lembu Peteng adalah bangsawan yang menurunkan raja-raja kecil di Madura bagian barat. Ki Ario Lembu Peteng yang beragam Budha itu kemudian masuk agama Islam dan wafat di daerah Ampel, Surabaya, sebelum ia sempat meng-Islam-kan putra-putranya. Sebagai pengganti Ki Ario Lembu Peteng, maka diangkatlah putranya yang bernama Ario Menger menjadi Kami Tuwo.
Semasa hidup Ki Ario Lembu Peteng, ia juga memiliki anak yang bernama Ario Mengo. Ario Mengo adalah adik dari Ario Menger. Ario Mengo adalah putra Ki Ario Lembu Peteng yang ditugaskan untuk membabat hutan di sebelah timur Madegan. Oleh karena itu Ario Mengo bersama para pengikutnya menyusuri Selat Madura bagian selatan, yang mereka anggap sebagai satu-satunya jalan yang paling aman dari gangguan binatang buas.
Di suatu tempat, rombongan Ki Ario Mengo melepaskan lelah hingga malam tiba. Suasana malam itu sangat indah karena kebetulan sedang bulan purnama. Setelah ia merenung beberapa saat, timbullah keinginannya untuk menetap di situ. Pilihan Ario Mengo memang sangat tepat karena di sekitar wilayah tersebut terdapat banyak pohon buah-buahan dan sumber air.
Ki Ario Mengo Mendirikan Keraton Lawangan Daya
Ketika hari sudah larut malam, Ki Ario Mengo memerintahkan para pengikutnya naik ke atas pohon agar mereka terhindar dari gangguan binatang buas. Selama di atas pohon, mereka merasa bahwa malam berjalan sangat panjang. Sementara itu, Ki Ario Mengo tertidur lelap, sehingga tak terasa bahwa hari telah pagi. Ia baru terjaga setelah mendengar kicau burung yang bersahut-sahutan. Ia semakin terpikat oleh suasana dan pesona hutan itu sehingga diputuskan untuk mendirikan pedukuhan di situ.
Kemudian para pengikut Ki Ario Mengo diperintahkan menebangi pohon di sekitarnya untuk digunakan mendirikan bangunan dan rumah, sedangkan dahan-dahan yang besar digunakan untuk pagar, dengan posisi pintu menghadap arah utara (daja). Dengan demikian, berdirilah sebuah keraton kecil yang bernama Keraton Lawangan Daja. Pemilihan nama tersebut disebabkan keberadaan pintu (lawang) yang terletak di utara (daja). Karena cara pengucapan yang berbeda antara masyarakat Madura dan Jawa, maka Keraton Lawangan Daja disebut juga dengan Keraton Lawangan Daya.
Keraton Lawangan Daja semakin lama semakin maju. Bahkan kemajuan Keraton Lawangan Daja melebihi keadaan kota kelahiran Ki Ario Mengo. Meski Keraton Lawangan Daja hanya kerajaan kecil, Ki Ario Mengo dapat memimpin rakyatnya ke tingkat kehidupan yang layak dan teratur, sehingga ia dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana. Kepemimpinan Ki Ario Mengo sangat disegani dan dipatuhi oleh semua rakyatnya.
Selain itu, banyak diantara penduduk Keraton Lawangan Daja yang bertempat tinggal di sekitar keraton dan mengabdi kepada pemerintahan Ki Ario Mengo. Demikian pula diantara keluarganya sendiri yang ada di Madegan berdatangan dan menetap di Keraton Lawangan Daja. Akhirnya, bukan hanya Keraton Lawangan Daya yang terkenal di seluruh pelosok pulau Madura, bahkan nama Ki Ario Mengo semakin masyhur pula.
Demikian cerita asal-usul Keraton Lawangan Daya dari Madura. Semoga artikel sejarah budaya Nusantara ini bisa memberi manfaat untuk Anda. Mari cintai kekayaan budaya Nusantara!
Saya pernah kesana sekali. Sungguh banyak inspirasi dari Madura. Semoga makin banyak rakyat Indonesia yang peduli pada budaya daerah. Terima kasih tulisannya.
Sepertinya mas agus pernah tinggal di madura sehingga paham detail sejarah madura.