Hai blogger Jombang! Pada artikel blog The Jombang Taste sebelumnya telah diceritakan bahwa Ki Ario Mengo telah membuka hutan di selatan Pulau Madura dan mendirikan Keraton Lawangan Daja. Ki Ario Mengo memiliki seorang puteri tunggal yang bernama Nyi Banu. Nyi Banu tumbuh menjadi gadis yang rupawan dan cerdas dan diharapkan oleh Ki Ario Mengo dapat menggantikan kedudukannya setelah ia wafat.
Untuk itu, sejak kecil Nyi Banu dididik dengan penuh kasih sayang oleh Ki Ario Mengo. Maka tidak mengherankan bila perilaku dan keluhuran budi Nyi Banu sangat mirip dengan ayahnya tersebut. Nyi Banu bukan hanya disegani oleh rakyat biasa, tetapi juga oleh pejabat Keraton Lawangan Daja.
Setelah Ki Ario Mengo wafat, Nyi Banu naik tahta dengan gelar Ratu Pawelingan atau Ratu Pawekasan. Oleh karena Nyi Banu merupakan satu-satunya putri yang menggantikan ayahnya ketika itu, maka tidak saja namanya sangat masyhur, tetapi juga keratonnya. Keraton Lawangan Daja ini kemudian hari dikenal dengan nama Keraton Pamekasan.
Tidak sia-sialah Ki Ario Mengo mendidik putrinya karena ternyata Nyi Banu dapat memimpin rakyatnya dengan baik dan sukses. Bidang pertanian dan perdagangan di Keraton Lawangan Daja maju dengan pesat. Banyak saudagar yang mengadakan hubungan dagang antar pulau menyinggahkan kapalnya di pantai Talang.
Kek Lesap Mengabdi Kepada Raja Bangkalan
Syahdan, diceritakan bahwa penggantian nama Pawelingan menjadi Pamekasan sebenarnya berasal dari cerita Kek Lesap. Sebenarnya Kek Lesap adalah putra selir Pangeran Cakraningrat V, yaitu Raja Bangkalan. Tetapi malang, ia tidak diakui sebagai anak kandungnya. Sungguhpun demikian, ia memaksakan dirinya untuk mengabdi kepada ayahandanya. Ia dijadikan juru rawat kuda di keraton Bangkalan. Setiap hari ia harus menyiapkan kuda untuk Kompeni Belanda.
Darah pahlawan yang mengalir di sekujur tubuhnya mulai menggelegak. Pikiran sehatnya dan hati nuraninya tidak dapat menerima kerjasama dengan kompeni Belanda yang dilakukan oleh ayahnya. Agar ia tidak selalu melihat hal yang menyinggung perasaannya, ia sering meninggalkan keraton Bangkalan untuk mengaji. Oleh karena ia adalah anak yang cerdas, maka Kek Lesap dijadikan pembantu oleh kiainya.
Pengalaman pahit di keraton ayahandanya itu selalu membayangi hidupnya. Begitu juga tingkah laku, sikap dan tindakan Kompeni Belanda terhadap ayahandanya selalu mengusik perasaannya. Agar cita-citanya itu tercapai, ia bertapa di Gunung Gegger di daerah Arosbaya, untuk mendapatkan kekuatan batin.
Kek Lesap Bertapa di Gunung Payudan Sumenep
Setelah sekian lama di sana, kemudian ia pindah ke Gunung Payudan di daerah Guluk-guluk, Sumenep. Di tempat yang baru ini, sekian bulan lamanya ia tidak keluar. Ia menyatukan dirinya dengan Yang Maha Pencipta, dengan jalan melupakan makan, minum dan tidur.
Tuhan mengabulkan permohonan orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Demikian pula kepada Kek Lesap diberikan kekuatan batin. Selain itu, ia memperoleh senjata ampuh sebangsa celurit kecil yang ia namakan Kodhi’ Crangcang.
Dengan senjata yang bernama Kodhi’ Crangcang tersebut Kek Lesap merasa mampu melawan Kompeni Belanda yang telah menguasai para bupati di seluruh Madura. Lagipula ia tidak merasa khawatir melawan senjata Kiai Nenggala milik ayahnya. Setelah Kek Lesap turun dari pertapaannya, ia mempengaruhi penduduk Guluk-guluk dan sekitarnya untuk menyerang Kompeni Belanda dan Keraton Sumenep.
Kek Lesap Menguasai Keraton Sumenep
Mendengar maksud Kek Lesap itu, Raden Alza yang bergelar Pangeran Cokronegoro III, yaitu Raja Sumenep merasa khawatir untuk melawannya. Oleh karena itu, ia lari meloloskan diri (lolos bahasa Madura) untuk meminta perlindungan kepada Kompeni Belanda di Surabaya. Lolosnya itulah yang menyebabkan ia terkenal dengan sebutan Pangeran Lolos.
Di Sumenep tidak ada perlawanan sedikit pun, sehingga Kek Lesap dapat menguasai Keraton Sumenep dengan mudah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1750. Dari laporan Raden Alza itu, kompeni Belanda mengetahui bahwa Kek Lesap telah memberontak terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, seluruh kekuatan kompeni Belanda di pusatkan di Madura Barat.
Dari Sumenep, keesokan harinya pasukan Kek Lesap menuju ke arah barat. Kebetulan bupati Adikoro IV sedang pergi melaporkan ke Semarang dan dalam perjalanan pulang, ia singgah di rumah mertuanya, yaitu Pangeran Cakraningrat V. Ia hanya berpesan kepada patihnya yang bernama Raden Ashar, agar memberitahukan kepada mertuanya bahwa daerah kekuasaan Raden Alza telah ditaklukkan. Dari pesan (bahasa Jawa: wekasan) inilah agaknya kata Pawekasan menjadi Pamekasan.
Nyi Banu Menikah Dengan Ki Ario Pramono
Kembali kepada cerita mengenai Nyi Banu, ratu rupawan yanga memerintah Pamekasan itu, banyak menarik perhatian penguasa di Pulau Madura. Mereka ingin mempersunting Nyi Banu untuk menjadi isteri. Padahal sejak Nyi Banu masih remaja, hatinya sudah terpikat oleh Ki Ario Pramono, yaitu Kami Tuwo di Madegan, Keraton Sampang
Begitu juga dengan Ki Ario Pramono, meskipun banyak gadis yang mendekati untuk memikatnya, ia tidak menghiraukannya. Bagi Ki Ario Pramono, hanya Nyi Banulah yang menjadi idaman hatinya, hingga akhirnya mereka menjadi suami isteri. Pesta perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono berlangsung selama 40 hari 40 malam.
Rakyat Pamekasan sangat bergembira karena junjungannya sudah mempunyai pendamping setia untuk bersama-sama memimpin Keraton Pamekasan dan Madegan. Perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono rupanya juga berfungsi memperkuat kedudukan Dinasti Majapahit di Madura.
Semasa Nyi Banu bersama Ki Ario Pramono memerintah, terjadilah peristiwa yang menggelisahkan keturunan Majapahit yang ada di Madura, karena Kerajaan Majapahit runtuh. Mahkota kerajaannya diboyong ke Mataram. Meski demikian, semua penguasa di Madura termasuk Ratu Nyi Banu dan Ki Ario Pramono tidak mau tunduk kepada Mataram. Hal ini kelak mengakibatkan hancurnya wangsa (dinasti) Majapahit di Madura.
Demikian artikel cerita asal-usul Kota Pamekasan. Semoga informasi ini bisa bermanfaat untuk Anda. Mari lestarikan warisan budaya Nusantara!
Tinggalkan Balasan