Kupatan Durenan: Warisan Budaya Tak Benda yang Abadi di Trenggalek

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, tradisi Kupatan Durenan tetap menjadi simbol kebersamaan yang tak tergantikan bagi masyarakat Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Setiap tahun, pada hari ke-8 bulan Syawal dalam kalender Hijriah, atau sekitar seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri, warga setempat merayakan akhir puasa sunnah Syawal dengan makan ketupat bersama. Acara ini bukan sekadar pesta kuliner, melainkan ajang untuk menjalin silaturahmi, mencari berkah dari para kiai, dan berkumpul dengan keluarga besar. Tradisi yang telah berusia lebih dari 200 tahun ini juga menampilkan kesenian lokal, seperti arak-arakan gunungan ketupat yang meriah, menjadikannya perpaduan sempurna antara nilai spiritual, sosial, dan budaya. Kupatan Durenan bukan hanya warisan leluhur, tapi juga pengingat akan pentingnya harmoni dalam masyarakat.

Sejarah Kupatan Durenan bermula dari abad ke-18 atau awal abad ke-19, lebih dari dua abad lalu. Penggagas utamanya adalah Mbah Kiai Mesir, atau yang juga dikenal sebagai KH Imam Mahyin, seorang ulama dari Pondok Pesantren Babul Ulum di Desa Durenan. Menurut catatan sejarah, Mbah Kiai Mesir memperkenalkan tradisi ini sebagai cara untuk menjalankan sunnah puasa Syawal, yang terdiri dari enam hari puasa setelah Idul Fitri. Puasa ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menyatakan bahwa puasa Ramadhan dilanjutkan dengan puasa Syawal setara dengan pahala puasa setahun penuh. Awalnya, tradisi ini terbatas di lingkungan pesantren, di mana Mbah Kiai Mesir menerima tamu setelah menyelesaikan puasanya pada tanggal 2 hingga 7 Syawal. Tamu-tamu tersebut, yang sebagian besar adalah santri, datang untuk bersilaturahmi dan meminta doa berkah. Seiring waktu, tradisi ini meluas ke seluruh masyarakat Durenan dan sekitarnya, bahkan menarik perhatian adipati Trenggalek pada masa itu, yang mengundang Mbah Kiai Mesir untuk mendampingi acara open house kerajaan. Setelah wafatnya Mbah Kiai Mesir sekitar tahun 1910, tradisi ini dilanjutkan oleh keturunannya, seperti KH Abdul Fattah Mu’in, yang hingga kini menjadi pengasuh pesantren tersebut. Beberapa sumber bahkan menyebut usia tradisi ini mencapai lebih dari 300 tahun, menjadikannya salah satu warisan budaya tertua di Trenggalek.

Proses perayaan Kupatan Durenan berlangsung meriah dan penuh makna. Persiapan dimulai sejak akhir Ramadhan, di mana warga membuat ketupat dari janur kelapa. Ketupat ini bukan hanya makanan, tapi simbol keikhlasan dan kebersamaan. Pada hari H, yang jatuh pada H+8 Idul Fitri, rumah-rumah warga dibuka untuk open house. Tamu datang dari berbagai penjuru, termasuk sanak keluarga, teman, dan bahkan wisatawan dari luar daerah. Mereka disuguhi ketupat beserta lauk-pauk seperti opor ayam atau sambal goreng. Salah satu puncak acara adalah arak-arakan gunungan ketupat, di mana tumpukan ketupat berbentuk gunung diarak keliling desa dengan iringan musik tradisional Jawa, seperti gamelan atau tayuban. Warga berebut potongan ketupat dari gunungan tersebut, diyakini membawa berkah dan rezeki. Partisipan meliputi seluruh lapisan masyarakat: dari anak-anak hingga lansia, santri pesantren, hingga pejabat pemerintah setempat yang sering hadir untuk memberikan dukungan. Acara ini biasanya dimulai pagi hari dan berlangsung hingga sore, diisi dengan doa bersama dipimpin oleh para kiai.

Makna spiritual Kupatan Durenan sangat dalam. Tradisi ini mengajarkan nilai puasa sunnah sebagai penyempurna ibadah Ramadhan, sekaligus cara untuk membersihkan jiwa dari dosa. Dengan mencari berkah dari para kiai, warga percaya bahwa doa-doa tersebut akan membawa keberkahan dalam kehidupan sehari-hari. Secara sosial, Kupatan mempererat ikatan antarwarga. Di era digital ini, di mana interaksi sering terbatas pada media sosial, tradisi ini menjadi momen nyata untuk saling memaafkan, berbagi cerita, dan memperkuat solidaritas. Nilai didaktiknya juga terlihat dalam edukasi generasi muda tentang sejarah Islam dan budaya Jawa. Selain itu, ada elemen ethnoscience dan ethnomathematics yang tersirat, seperti penggunaan bahan alami untuk ketupat yang mencerminkan pengetahuan lingkungan, serta perhitungan waktu berdasarkan kalender Hijriah yang melibatkan matematika astronomi. Tradisi ini juga mempromosikan nilai bela negara, seperti yang terlihat dalam acara tahun 2024 di mana dibacakan ikrar komitmen mencintai tanah air.

Elemen budaya dalam Kupatan Durenan sangat kaya. Selain arak-arakan gunungan, sering ada penampilan kesenian lokal seperti reog atau jaranan, yang menambah semarak acara. Ketupat sendiri melambangkan “kupat” atau “ngaku lepat” dalam bahasa Jawa, artinya mengakui kesalahan dan meminta maaf. Ini selaras dengan semangat Idul Fitri. Perayaan ini juga menjadi ajang pelestarian budaya, di mana generasi muda diajarkan cara membuat ketupat dan memahami nilai-nilai leluhur. Pemerintah Kabupaten Trenggalek aktif mendukung, dengan mengintegrasikannya ke dalam agenda pariwisata daerah, sehingga menarik ribuan pengunjung setiap tahunnya.
Perkembangan terkini menunjukkan Kupatan Durenan semakin berkembang. Meski tetap mempertahankan esensi tradisional, acara ini kini dilengkapi dengan festival seperti arakan tumpeng ketupat yang meriah. Pandemi COVID-19 sempat membatasi keramaian, tapi sejak 2023, perayaan kembali bergelora. Harapan warga seperti Mochamad Cholid Huda adalah agar tradisi ini terus dilestarikan oleh anak cucu, menjadi warisan abadi yang memperkuat identitas Trenggalek.
Pada akhirnya, Kupatan Durenan adalah lebih dari sekadar perayaan; ia adalah cermin kebersamaan masyarakat Jawa Timur. Di tengah perubahan zaman, tradisi ini tetap relevan, mengajarkan kita tentang pentingnya spiritualitas, silaturahmi, dan pelestarian budaya. Dengan usia yang telah melampaui dua abad, Kupatan Durenan bukan hanya milik Durenan, tapi inspirasi bagi seluruh Indonesia untuk menjaga akar budaya sambil menyongsong masa depan.

Kupatan Durenan sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Kupatan Durenan merupakan salah satu tradisi tahunan yang unik di Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Tradisi ini merayakan akhir puasa sunnah Syawal dengan makan ketupat bersama, menjadikannya simbol kebersamaan dan silaturahmi yang kuat di tengah masyarakat. Pada tahun 2024, Kupatan Durenan resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan, bersama dengan tradisi lain seperti Upacara Adat Baritan dan Nyadran Dam Bagong dari Trenggalek. Penetapan ini mengakui nilai historis, spiritual, dan sosial yang terkandung di dalamnya, sekaligus menjadi bukti pelestarian budaya lokal yang telah berlangsung lebih dari dua abad.

Inti dari tradisi Kupatan Durenan terletak pada pelaksanaan puasa Syawal. Setelah menyelesaikan puasa Ramadhan, masyarakat menjalankan puasa sunnah selama enam hari di bulan Syawal, mengikuti anjuran Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa puasa tersebut setara dengan pahala puasa setahun penuh. Puasa ini dimulai sejak hari kedua Idul Fitri dan berakhir pada hari ketujuh. Penutupnya adalah “Lebaran Ketupat” atau Hari Raya Ketupat pada hari ke-8 Syawal (H+8 Idul Fitri), di mana masyarakat berkumpul untuk kenduri dan makan bersama. Silaturahmi menjadi elemen utama: warga saling mengunjungi rumah, berkumpul di masjid atau balai dusun, serta sowan kepada para kiai untuk memohon doa dan berkah. Tradisi ini bukan hanya ritual keagamaan, tapi juga momen reuni keluarga besar dan memperkuat ikatan sosial.

Kegiatan dan ciri khas Kupatan Durenan sangat kaya akan nuansa budaya Jawa. Kenduri menjadi acara sentral, di mana masyarakat menyajikan ketupat sebagai hidangan utama, disertai lepet (makanan dari beras ketan dibungkus janur), opor ayam, sambal goreng, dan aneka lauk pauk tradisional. Makan bersama ini dilakukan secara gotong royong, simbol kebersamaan dan syukur atas rezeki. Salah satu puncak acara adalah arak-arakan gunungan ketupat, di mana tumpukan ketupat berbentuk gunung diarak keliling desa. Prosesi ini bukan hanya syiar agama, tapi juga cara memecah kerumunan dan membagikan berkah kepada seluruh warga yang berebut potongannya. Arak-arakan sering diiringi kesenian lokal seperti reog mini dan jaranan, yang menambah kemeriahan tanpa mengurangi esensi spiritual. Selain itu, ada perlombaan tradisional untuk anak-anak, seperti lomba makan ketupat atau permainan rakyat, yang melibatkan generasi muda dalam pelestarian budaya.

Tujuan utama Kupatan Durenan bukanlah hiburan semata, melainkan mempererat silaturahmi dan menjaga tradisi luhur warisan leluhur. Tradisi ini bermula dari Mbah Mesir (KH Abdul Masyir atau KH Imam Mahyin), ulama pendiri Pondok Pesantren Babul Ulum pada awal 1800-an. Beliau memperkenalkan puasa Syawal dan open house dengan ketupat sebagai bentuk syukur, awalnya terbatas di lingkungan pesantren. Seiring waktu, tradisi ini meluas ke seluruh masyarakat Durenan dan sekitarnya, bahkan menjadi inspirasi bagi daerah lain di Trenggalek. Ketupat sendiri melambangkan “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) dalam bahasa Jawa, selaras dengan semangat saling maaf-memaafkan pasca-Idul Fitri.

Sebagai WBTb, Kupatan Durenan kini semakin mendapat perhatian. Pemerintah daerah memasukkannya dalam kalender wisata, menarik ribuan pengunjung setiap tahun. Meski sempat terdampak pandemi, tradisi ini tetap lestari berkat komitmen masyarakat dan tokoh seperti KH Abdul Fattah Mu’in, pengasuh pesantren saat ini. Di era modern, Kupatan mengajarkan nilai toleransi, gotong royong, dan spiritualitas yang relevan. Ia bukan hanya warisan masa lalu, tapi perekat sosial yang abadi, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga akar budaya sambil menyambut masa depan. Dengan pengakuan nasional, harapan besar agar generasi muda terus melestarikannya, menjadikan Trenggalek semakin kaya akan khazanah budaya Indonesia.

Hambatan Pelestarian Kupatan Durenan

Kupatan Durenan, tradisi tahunan di Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia pada tahun 2024 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Tradisi ini, yang berusia lebih dari dua abad, merayakan akhir puasa sunnah Syawal dengan kenduri ketupat, arak-arakan gunungan, dan silaturahmi kepada para kiai. Digagas oleh Mbah Kiai Mesir (KH Imam Mahyin), Kupatan menjadi simbol kebersamaan, syukur, dan pelestarian nilai Islam serta budaya Jawa. Namun, di tengah pengakuan nasional ini, pelestarian tradisi menghadapi berbagai hambatan yang mengancam keberlanjutannya.

Salah satu hambatan utama adalah dampak modernisasi dan globalisasi. Perubahan gaya hidup masyarakat, terutama generasi muda, membuat minat terhadap tradisi lokal menurun. Urbanisasi menyebabkan banyak warga Durenan merantau ke kota besar untuk mencari pekerjaan, sehingga partisipasi dalam persiapan dan pelaksanaan Kupatan berkurang. Generasi muda lebih terpapar budaya populer global melalui media sosial dan teknologi, menganggap tradisi seperti membuat ketupat secara manual atau arak-arakan sebagai sesuatu yang kuno. Hal ini menyebabkan erosi nilai-nilai tradisional, di mana gotong royong dan silaturahmi langsung tergantikan oleh interaksi virtual.

Selain itu, komodifikasi budaya menjadi tantangan lain. Meski pemerintah daerah mempromosikan Kupatan sebagai agenda pariwisata, seperti Festival Kupatan Durenan, fokus pada hiburan dan kunjungan wisatawan kadang menggeser esensi spiritual. Beberapa tahun, elemen seperti kesenian lokal (reog mini atau jaranan) dikurangi untuk menghindari norma yang dianggap tidak sesuai, sementara pengaruh hiburan modern bisa mengaburkan makna asli sebagai syiar agama dan perekat silaturahmi. Pandemi COVID-19 juga sempat membatasi keramaian, meski tradisi kembali bergelora pasca-2023.

Hambatan lain datang dari kurangnya regenerasi dan dokumentasi yang memadai. Meskipun Pondok Pesantren Babul Ulum sebagai pusat tradisi tetap aktif di bawah pengasuhan KH Abdul Fattah Mu’in, pengetahuan tentang sejarah dan cara pelaksanaan bergantung pada transmisi lisan. Generasi muda kurang terlibat dalam pembuatan ketupat dari janur atau pemahaman filosofi “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Di tingkat daerah, meski ada upaya seperti kajian ethnoscience dan ethnomathematics untuk mengintegrasikan tradisi ke pendidikan, dukungan anggaran untuk pelestarian masih terbatas dibandingkan prioritas lain seperti infrastruktur.

Faktor lingkungan dan sosial juga turut berperan. Perubahan iklim memengaruhi ketersediaan bahan alami seperti janur kelapa, sementara kesenjangan sosial akibat modernisasi membuat sebagian masyarakat lebih individualistis, mengurangi semangat kenduri bersama. Di Trenggalek secara umum, kasus hilangnya benda cagar budaya menunjukkan kelalaian dalam pelestarian warisan, yang bisa berdampak serupa pada tradisi tak benda seperti Kupatan.

Meski demikian, ada peluang untuk mengatasi hambatan ini. Pengakuan sebagai WBTb memberikan dorongan nasional untuk dokumentasi dan promosi. Masyarakat Durenan tetap menunjukkan komitmen kuat melalui gotong royong, sementara integrasi dengan pariwisata berkelanjutan bisa menarik generasi muda. Pendidikan formal yang memasukkan nilai Kupatan, seperti toleransi dan kebersamaan, serta pemanfaatan media digital untuk dokumentasi, menjadi kunci. Peran tokoh agama dan pemerintah daerah dalam menekankan esensi spiritual daripada hiburan semata juga krusial.

Pada akhirnya, hambatan pelestarian Kupatan Durenan mencerminkan tantangan lebih luas bagi warisan budaya tak benda di Indonesia: menyeimbangkan modernisasi dengan akar tradisi. Jika tidak diatasi, tradisi abadi ini berisiko pudar, kehilangan makna sebagai perekat sosial di tengah masyarakat yang semakin individual. Namun, dengan kesadaran kolektif, Kupatan bisa tetap menjadi inspirasi kebersamaan, membuktikan bahwa warisan leluhur mampu bertahan di era kontemporer. Pelestarian bukan hanya tanggung jawab masyarakat Durenan, tapi juga bangsa Indonesia untuk menjaga keragaman budaya yang kaya ini.

Tinggalkan komentar