
Apa kabar kawan blogger pembaca setia The Jombang Taste? Kita bertemu lagi dengan artikel seni dan budaya Surakarta bersama komunitas blogger Jombang. Salah satu tradisi Jawa yang telah hilang di jaman sekarang adalah perayaan hari Lebaran Idul Fitri dengan cara adu kekuatan manusia melawan binatang. Tahukah kalian bahwa pada jaman dulu terdapat tradisi unik yang menyerupai ajang gladiator berlangsung di Keraton Surakarta? Ajang adu kekuatan itu bernama Ngrampog Macan.
Asal-usul Tradisi Ngrampog Macan
Sesuai namanya, Ngrampog Macan tersusun dari dua kata, yaitu ngrampog dan macan. Ngrampog artinya membunuh beramai-ramai. Sedangkan macan artinya harimau. Tradisi Ngrampog Macan di hari lebaran sekarang hanya tinggal merupakan suatu cerita atau dongeng yang sangat menarik bagi kita. Tontonan tradisi Jawa merampok macan dilakukan oleh kerabat Keraton Surakarta pada masa sebelum abad kedua puluh.
Ngrampog macan merupakan atraksi yang sangat menarik dan dinantikan kehadirannya oleh setiap orang pada hari Lebaran. Bukan saja oleh setiap rakyat biasa, namun para bangsawan dan raja sendiri selalu menggemari tontonan ngrampog macan yang setiap waktu dilaksanakan di Alun-alun Kota Surakarta. Maklum, pada jaman dahulu sangat sekali jenis hiburan yang tersedia di masyarakat sehingga pertarungan Ngrampog Macan menjadi demikian digemari masyarakat Solo saat itu.
Setiap berlangsungnya tontonan ngrampog macan, Sri Susuhunan Raja Surakarta selalu hadir lengkap dengan para kerabat keraton dan hamba sahayanya. Pada jaman dahulu orang menggemari tontonan ngrampog macan karena belum ada ketoprak, wayang orang, bioskop dan hiburan sebagainya. Pertunjukan adu manusia melawan macan ini terkesan berbahaya. Meski demikian, para prajurit peserta Ngrampog Macan memiliki kebanggaan tersendiri bisa mampu tampil dalam acara tersebut.
Hiburan Utama Rakyat Surakarta
Menurut keadaan waktu itu tampak jelas bahwa orang masih sangat kekurangan hiburan sehat. Ada juga beberapa hal yang merupakan alasan diadakannya tontonan itu. Pada waktu sebelum abad kedua puluh di Pulau Jawa penduduknya masih sedikit. Daerah yang merupakan kota dan pedesaan masih jarang-jarang penduduknya. Sebagian besar merupakan wilayah Suarakarta waktu itu berupa hutan belantara. Hutan-hutan ini dihuni oleh bermacam-macam binatang. Harimau masih hanyak berkeliaran dan mengganggu ketenteraman penduduk. Maka perlu sekali adanya usaha pemberantasan.
Alasan lain tumbuhnya budaya ngrampog macam saat itu adalah rakyat perlu dibuatkan hiburan. Ngrampog macan adalah latihan ketangkasan yang sangat baik bagi para prajurit. Setelah jaman itu berlalu, maka hutan-hutan makin menyempit dan bermacam-macam hiburan satu demi satu muncul dalam kehidupan masyarakat. Hadirnya berbagai jenis hiburan baru dan semakin besarnya kesadaran masyarakat untuk melindungi binatang langka menyebabkan tradisi Ngrampog Macan hilang.
Meskipun demikian, apabila tontonan ngrampog macan diselenggarakan pada jaman sekarang, mungkin masih sangat digemari orang. Tontonan semacam itu merupakan hiburan selingan yang cukup menarik perhatian. Dahulu setiap diadakannya tontonan ngrampog macan di Alun-alun Utara Kota Solo, maka Sri Susuhunan Raja Solo selalu hadir. Beliau hadir bersama para bangsawan duduk di teratag atau panggung kehormatan yang disediakan khusus untuk raja.
Sekarang bangunan teratag telah diganti dengan Pagelaran yang bertiang sebanyak empat puluh buah. Pagelaran yang bertiang sebanyak itu untuk menandai bahwa Pagelaran itu dibangun oleh Sri Susuhunan Paku Buwono X pada usia 40 tahun. Pagelaran di atas teratag diganti dengan pertunjukan seni budaya Surakarta yang kental dengan adat Jawa.
Ajang Para Gladiator Jawa
Para kesatria yang melaksanakan tugas merampok harimau ialah prajurit-prajurit Keparak dan Matang. Dalam melaksanakan tugas Ngrampok Macan terdapat aturan bahwa mereka tidak diperkenankan bergerak meninggalkan tempat. Artinya, mereka harus tetap berdiri di tempat semula, hanya tangan dan senjatanya saja yang diperbolehkan bergerak. Semua itu untuk menjaga, agar senjata-senjata mereka tidak salah sasaran melukai kawan sendiri. Di samping itu dimaksudkan agar si harimau tidak lekas mati terbunuh.
Apabila tradisi ngrampog macan akan dimulai, prajurit-prajurit Keparak dan Matang mulai membentuk lingkaran. Mereka berdiri melingkar yang cukup luas. Sementara itu seluruh rakyat memalingkan pandangannya ke arah Sri Susuhunan. Begitu diberikan komando oleh raja, maka prajurit yang bertugas segera melepaskan seekor harimau dari dalarn kandangnya. Kandang harimau itu sekarang sudah tidak ada lagi, letaknya dekat daerah yang dipakai untuk tempat kendaraan angkutan sekarang ini.
Begitu harimau keluar dari kandangnya, maka orang serentak menyambut dengan sorak-sorai dan tepuk tangan, sehingga menimbulkan suara gemuruh. Sambutan penonton menyebabkan harimau itu kebingungan. Harimau liar yang kebingungan itu berlari-larian ke sana ke mari dengan maksud untuk lari meloloskan diri dari kepungan prajurit. Instingnya memberi pesan bahaya telah datang kepadanya saat puluhan prajurit berdiri mengelilinginya dengan membawa persenjataan lengkap.
Tetapi apa yang terjadi pada binatang buas itu selalu sial dalam usaha kabur dari kepungan para prajurit. Setiap kali ia mendekati prajurit untuk menerobos kepungannya, maka ia disambut dengan tombak. Ketika ia beralih lari ke tempat lain, disambut pula oleh senjata yang sudah siap sedia. Saat penonton melihat serangan-serangan para prajurit itu, maka tepuk dan soraknya makin menambah bingung dan buas si harimau. Para prajurit yang bertindak layaknya seorang gladiator pun makin bersemangat menunjukkan ketangkasannya menggunakan senjata tombak dan pedang.
Pertarungan Melawan Harimau Liar
Harimau terlihat semakin marah karena usahanya melarikan diri selalu gagal. Sementara itu para prajurit makin bersemangat dihadapan para penonton. Mereka mulai menambah kewaspadaan serta meningkatkan keterampilan menggunakan senjata, meskipun dalam hati mereka timbul perasaan berdebar debar. Rasa berdebar-debar ini meliputi juga kepada para penonton karena mereka membayangkan bahaya apa yang akan terjadi apabila harimau yang sudah sangat buas itu dapat lolos dari arena kepungan prajurit.
Selain diliputi rasa khawatir, penonton pun tidak lekas mengharapkan harimau itu segera mati, karena tontonan akan segera selesai dan hiburan itu terasa kurang menarik. Salah satu bagian yang sangat menarik dari tontonan ini ialah apabila si harimau sudah menjadi marah, ia akan mengaum dan menggeram dalam usahanya untuk meloloskan diri dari mautnya. Sehingga harimau itu giat mengadakan serangan balasan, sedang para prajurit yang bertugas itu benar-benar siap sedia melaksanakan tugasnya.
Memang sudah merupakan tugas bagi para Prajurit Keparak dan Matang untuk ngrampog macan itu sampai mati. Tetapi karena adanya peraturan bahwa prajurit tidak diperkenankan bergerak dari tempat semula, maka ada kalanya usaha menaklukkan harimau itu memakan waktu yang cukup lama. Jenis harimau yang tidak mudah menyerah untuk dirampok ialah harimau gembong dan harimau tutul.
Harimau tutul lebih gesit dan juga tidak gampang mau menyerah untuk dibunuh. Biasanya harimau jenis itu lari berkeliaran hilir-mudik di tengah arena sambil mengaum dan menggeram. Sebaliknya apabila telah terlukai harimau itu pun akan menjadi makin liar dan semakin buas, sehingga perlawanannya pun akan makin menarik di samping amat mendebarkan jantung para penonton.
Upaya Perlindungan Satwa Langka
Ngrampog macan pada hari Lebaran semacam itu kadang-kadang juga memakan waktu sehari penuh. Semua itu tergantung kepada jumlah harimau yang tersedia di dalam kandang. Jika persediaan harimau di dalam kandang hanya sedikit, maka waktu yang dipergunakan ngrampog macan singkat saja. Namun jika harimau yang dikurung banyak, maka ngrampog macan akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Semakin lama, semakin tumbuh kesadaran di kalangan bangsawan dan masyarakat Kota Solo terhadap keberadaan satwa liar harimau. Mereka menyadari bahwa binatang macan berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan di sekitar mereka. Oleh karena itu, perlahan namun pasti budaya Ngrampog Macan dalam perayaan hari Lebaran mulai dihilangkan. Pemerintah juga telah mengeluarkan larangan membutuh binatang langka, khususnya Macan Tutul dari Jawa yang saat ini makin jarang ditemukan di hutan.
Demikian tradisi masa silam tentang atraksi ngrampog macan yang berlangsung setiap hari Lebaran di Alun-alun Utara Keraton Sala. Artikel ini tidak bertujuan untuk membenarkan kebiasaan berburu binatang liar di hutan meskipun hal itu telah terjadi di masa lampau. Artikel ini ditulis untuk memberikan wawasan kepada Anda bahwa pada jaman dulu pernah terdapat tradisi Ngrampok Macan di Keraton Surakarta. Semoga artikel ini bisa menambah kesadaran Anda untuk ikut serta dalam usaha pelestarian hewan-hewan langka di Indonesia.
Daftar Pustaka:
Sunaryo, BA. 1984. Mengenal Kebudayaan Daerah. Tiga Serangkai: Solo
Tinggalkan Balasan