Mencermati perkembangan seni patrol modern di Kabupaten Jombang sungguh menarik. Ibarat drama Korea yang mampu bikin baper para pecintanya, seni patrol modern telah mengalami pasang-surut kehidupan yang tidak mudah. Masih teringat dengan jelas dalam benak penulis pada kurun waktu awal tahun 2015 saat kejayaan seni patrol modern mencapai masa berkembang. Ketika itu patrol Jombang laris-manis menuai job di berbagai hajatan. Bahkan UNHASY Tebuireng mengundang Grup Patrol GMTri sebagai pengisi acara Dies Natalis Kampus UNHASY pada tahun 2016. Begitu besar minat masyarakat terhadap seni patrol hingga awal tahun 2017. Setelah itu, secara pesona seni musik patrol modern Jombang berangsur-angsur memudar. Ada apa dengan seni patrol modern?
Bicara seni tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan aktualisasi diri. Seni adalah sebuah passion yang mampu menggerakkan makhluk lemah menjadi lebih bertenaga. Seni pula menjadi tali pengikat antara hati dan logika sehingga seorang seniman patrol bersedia berkorban waktu, tenaga dan biaya mereka demi eksistensi komunitasnya. Jadi, kunci berkembang dan tidaknya sebuah seni adalah pada keberadaan passion dalam diri setiap seniman. Manakala seorang pemain musik patrol gagal menuai pundi-pundi uang dari ngamen, sangat mungkin dia akan meluapkan kekecewaannya dengan beralih pekerjaan. Sekali lagi, passion berbicara disini. Kalau bukan karena darah seni sejati, tujuan komersil seni patrol modern akan menjadi racun pembunuh jangka panjang bagi eksistensi seniman itu sendiri.
Penulis mengamati perkembangan grup patrol di desa tempat tinggal penulis. Sungguh, patrol menjadi demikian destruktif bagi perkembangan pendidikan karakter remaja. Perseteruan antar sesama penabuh alat musik, pembagian hasil ngamen yang lebih adil, keterlibatan anak dibawah umur sebagai penari patrol, dan menurunnya prestasi belajar siswa akibat sering dapat job patrol hanyalah secuil permasalahan yang tampak di permukaan. Ada hal-hal tak kasat mata mengapa patrol berkembang dan merusak keharmonisan keluarga. Budaya sawer dilegalkan dalam keluarga dan mengikis kepercayaan anak kepada orang tua. “Oh, ibuku barusan disawer oom oom dan bapakku diam saja. Berarti itu hal benar,” demikian anak berpikir. Inilah awal dari kerusakan moral anak muda.
Kontribusi pemerintah desa pun sama saja. Penguasa desa tidak mau mendukung seni yang dilakukan bak hangat-hangat tahi ayam. Senangnya sejenak lalu ditinggalkan begitu saja. Wajar saja jika koordinator grup patrol sempat sentimen kepada pemerintah desa karena kurangnya dukungan. Ingin hati terus berkembang namun apa daya begitu banyak kendala seniman hadapi. Maka tak ubahnya seni patrol modern Jombang menjadi hidup segan mati tak mau. Mau dilanjutkan hidup kok terasa berat, tapi kalau mau dimatikan kok masih sayang. Lalu, bagaimana solusinya? Jika memang ingin patrol tetap hidup dan terus berkembang maka seniman patrol harus terus menambal kekurangan-kekurangan di atas. Memang tidak ada salah dalam mencintai kebebasan berkreasi di bidang seni. Namun cinta yang berlebihan kepada kebebasan seni dapat menumbuhkan kebencian terhadap usaha menjaga moral generasi muda. Bukankah orang tua adalah sebaik-baik pendidik anak? Semoga terinspirasi.
Tinggalkan Balasan