Suara gamelan terdengar bertalu-talu saat saya menulis artikel ini. Sesekali pukulan bass drum mengagetkan ruang pendengaran. Sementara itu, ratusan pasang mata tertuju pada panggung berukuran 4×5 meter setinggi 80 cm. Malam ini, Sabtu 8 September 2018 dilaksanakan pagelaran wayang kulit di lingkungan warga RT 02. Lokasi pementasan wayang kulit tepat di samping kompleks gedung SDN Latsari. Koneksi internet wifi dari sekolah tersambung di hape saya pertanda router belum dimatikan saat terjadi pemadaman listrik tadi pagi. Pagar samping sekolah terbuka. Penonton hiburan wayang dapat leluasa keluar masuk halaman sekolah. Sesekali saya memeriksa beberapa sudut sekolah untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan tempat oleh warga yang berhamburan parkir di lingkungan sekolah.
Pagelaran seni wayang kulit dimulai nanti malam setelah pementasan tari remo. Tari remo sendiri telah dimulai sejak pukul setengah sepuluh malam. Anak-anak berlarian kesana-kemari karena kegirangan. Tidak banyak pertunjukan seni tradisional Jombangan dilaksanakan di desa kami selama beberapa tahun terakhir ini. Anak-anak mulai tenang saat seorang pembawa acara mulai bersuara dan membuka acara. Di belakangnya, penari berpakaian hitam merah telah siap tampil. Seorang penari transgender berpenampilan wanita membawakan tarian remo versi kalem. Sekalipun sudah berbaju wanita, karakter pria tetap tampak dalam setiap gerakannya. Penari remo itu berlenggak-lenggok di atas panggung selama kurang lebih lima belas menit. Saya kurang bisa menikmati suguhan tari remo ini. Sejak mengikuti pelatihan tari remo Jombangan pada bulan April lalu, naluri seni saya semakin terasah. Feeling saya kali ini menilai gerakan penari berkesan tidak bertenaga dan kurang luwes.
Penampilan seni berikutnya adalah seni tari Jombangan versi pria. Gerakan penari remo Jombangan ini umumnya lebih tegas dan bertenaga sebagai simbol perjuangan anak bangsa saat melawan penjajah. Tidak tanggung-tanggung, tiga orang penari langsung tampil bersamaan di atas panggung. Mereka terlihat agak berdesakan juga. Saya berharap dalam hati semoga tampilan seni tari remo kedua ini lebih memukau saya. Tapi lagi-lagi saya kecewa karena gerakan tari mereka tidak sesuai dengan paken tari remo yang saya dapat dari pelatihan tari remo. Tiga orang penari remo lanangan itu tidak cukup tegas dalam menggerakkan tangan. Gerakan mereka pun tidak kompak. Satu penari ke arah samping, dua penari ke arah depan. Sepertinya mereka kurang berlatih secara bersama-sama. Menari secara berkelompok memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dibanding tari tunggal.
Saya menilai terdapat kesenjangan praktek seni tari remo dalam bidang seni murni dan seni hiburan yang dikomersilkan. Seni murni yang diajarkan di lembaga pendidikan formal cenderung menganut aturan baku tari remo. Hitungan tari dan gerakan-gerakan patah dilakukan secara ritmis. Ayunan tangan dan kaki saling mendukung terciptanya pesan moral perjuangan dalam tari remo. Sementara itu, tari remo untuk tujuan hiburan (Jawa: tanggapan) telah mengalami banyak improvisasi. Tanggapan tari remo yang berlangsung di masyarakat tidak terlalu kaku untuk mengikuti aturan dasar menari. Asalkan penari memiliki wajah cantik dan kulit putih mulus, penonton akan mengabaikan unsur seni lainnya. Masyarakat butuh hiburan. Jadi wajar saja jika mereka memaklumi hal ini. Atau bisa juga karena warga tidak paham pakem tari remo sehingga diam saja saat disuguhi tarian ala kadarnya.
Usai menari, tiga orang penari itu tidak langsung turun panggung. Mereka menyiapkan kardus kosong bekas tempat air mineral. Untuk apa fungsi kardus bagi penari remo? Tidak lain adalah untuk menampung uang saweran dari penonton. Tradisi nyawer terjadi dimanapun ada pagelaran musik di desa, entah musik dangdut maupun musik tradisional Jawa. Pemandangan ini sungguh tidak bagus bagi pendidikan anak. Bapak-bapak mengeluarkan uang ratusan ribu untuk diselipkan di dada penari ataupun cuma disalamkan ke tangan penari. Sebagai imbalannya, penari akan menyanyikan sebuah lagu yang diminta oleh warga tukang sawer.
Beginilah nasib seni tradisional Jawa di era modern. Kalau tidak dibumbui candaan kasar berkesan SARA, pasti ada unsur eksploitasi seksual penari wanita. Manusia jaman now rupanya suka musik tradisional kalau bisa memuaskan hasrat pribadi mereka. Mungkin bapak-bapak itu lupa bahwa tindakan mereka ditonton puluhan anak di bawah umur dan bisa menjadi contoh tidak baik dalam membentuk mental relijius. Mari kembalikan seni kepada fungsi asli sebagai bentuk nasehat verbal kepada orang-orang di sekitar kita. Anda bisa berkontribusi secara nyata dengan tidak ikut nyawer maupun tidak mempertontonkan aurat kepada publik. Anda pun sebagai pelaku seni perlu mempelajari gerakan tari remo yang benar dari guru seni tari. Siap melakukan?
Tinggalkan Balasan ke Abdul Majid Batalkan balasan