Upacara Adat Baritan Salamwates: Warisan Budaya Trenggalek yang Penuh Makna

Upacara Adat Baritan di Desa Salamwates, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, merupakan salah satu tradisi leluhur yang masih lestari hingga kini. Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol kebersamaan masyarakat, tetapi juga mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual. Sebagai bagian dari kearifan lokal Jawa Timur, Baritan telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) oleh pemerintah daerah. Dalam artikel ini, kita akan membahas asal-usul, waktu pelaksanaan, makna, serta prosesi upacara ini secara mendalam, berdasarkan catatan sejarah dan praktik masyarakat setempat.

Asal-Usul Upacara Adat Baritan Salamwates

Asal-usul Upacara Adat Baritan dapat ditelusuri hingga abad ke-17, tepatnya sekitar tahun 1618. Menurut cerita turun-temurun, tradisi ini bermula dari dua pertapa legendaris, Suragangsa dan Suragati, yang bertemu dengan makhluk gaib bernama Dhadung Awuk. Makhluk ini digambarkan sebagai jin pengganggu hewan ternak, penguasa Rojo Koyo—istilah untuk hewan berkaki empat seperti sapi dan kambing. Konflik muncul ketika Dhadung Awuk sering mengganggu ternak warga, menyebabkan kematian dan kerugian bagi petani di wilayah Dongko.

Dalam pertarungan spiritual, kedua pertapa berhasil mengalahkan Dhadung Awuk. Sebagai imbalan atas kekalahannya, jin tersebut meminta sesaji tahunan agar ia justru menjadi pelindung ternak masyarakat. Dari situlah lahir ritual Baritan, yang berasal dari kata “barit” dalam bahasa Jawa, artinya “menjaga” atau “memohon perlindungan”. Awalnya, upacara ini dilakukan sebagai respons terhadap berbagai musibah seperti pagebluk (wabah penyakit), gagal panen, kekeringan, dan kelangkaan makanan yang melanda petani Dongko.

Tradisi ini sempat mengalami pasang surut. Pada era 1960-an, pelaksanaannya dihentikan karena ketidakstabilan politik nasional, termasuk dampak Gerakan 30 September 1965 yang membatasi perkumpulan besar. Selain itu, biaya tinggi menjadi kendala. Namun, pada 1972, masyarakat Salamwates menghidupkannya kembali dengan semangat gotong royong. Pada 1979, dari upacara ini lahir kesenian Turangga Yakso (atau Turonggo Yakso), sebuah tarian kuda lumping dengan kepala raksasa yang melambangkan pembasmian hama dan pengendalian nafsu manusia. Meski sempat ditiadakan pada 2020 akibat pandemi COVID-19, Baritan kini menjadi festival desa yang menarik wisatawan, memperkuat identitas budaya Trenggalek.

Waktu Pelaksanaan Upacara Adat Baritan Salamwates

Upacara Baritan dilaksanakan secara rutin setiap tahun sekali, tepat di bulan Suro (Muharram dalam kalender Islam). Tanggal pastinya tidak selalu pada 1 Suro, melainkan ditentukan oleh sesepuh desa atau pawang melalui pertimbangan adat dan spiritual. Awalnya, ritual ini digelar pada bulan Selo, bertepatan dengan musim panen, untuk mensyukuri hasil bumi. Namun, seiring waktu, bergeser ke bulan Suro sebagai peringatan tahun baru Hijriah, yang dianggap waktu sakral untuk tolak bala dan memohon berkah.

Di era modern, pelaksanaan sering digabungkan dengan Festival Desa, seperti yang terjadi pada 22 Juli 2024 dan 20 Juli 2025. Pemilihan hari biasanya jatuh pada akhir pekan agar seluruh warga, dari anak-anak hingga orang tua, bisa berpartisipasi. Lokasi utama adalah Lapangan Penganom atau lapangan terbuka di Desa Salamwates, tempat penggembalaan ternak sehari-hari. Penentuan waktu ini melibatkan dukun (dungki) dan perangkat desa, memastikan harmoni dengan alam dan tradisi leluhur.

Makna Upacara Adat Baritan Salamwates

Makna Baritan sangat kaya, mencakup aspek spiritual, sosial, dan ekonomi. Secara etimologi, “Baritan” berarti “mbubarke perih lan setan” (membubarkan rasa sedih dan godaan setan), atau “Bar Ngarit Tanduran” (menjaga tanaman). Intinya adalah ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kelimpahan hasil panen, keselamatan ternak, dan ketentraman desa. Ritual ini juga berfungsi sebagai tolak bala, memohon perlindungan dari bencana alam, penyakit, serangan binatang buas, hingga gangguan mistis seperti Dadung Awuk.

Simbol-simbol dalam upacara sarat nilai: Bekuk Lengkong (sesaji dari kulit pisang ditekuk) melambangkan pelumpuhan kekuatan jahat, sementara dhadung (tali bambu) menjadi alat perlindungan ternak. Makna sosialnya adalah mempererat ikatan persaudaraan, gotong royong, dan silaturahmi antarwarga. Di tengah modernisasi, Baritan mendidik masyarakat tentang ketahanan pangan melalui pemanfaatan bahan lokal, serta meningkatkan ekonomi desa via wisata budaya. Secara keseluruhan, tradisi ini mengajarkan harmoni antara manusia dan alam, serta pengendalian nafsu untuk menghindari malapetaka.

Prosesi Upacara Adat Baritan Salamwates

Upacara Adat Baritan di Desa Salamwates, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, merupakan salah satu tradisi leluhur yang kaya akan simbolisme dan kebersamaan. Tradisi ini berlangsung setiap tahun pada bulan Suro (Muharram dalam kalender Islam), sebagai wujud syukur atas hasil panen, kesehatan ternak (rojo koyo), dan perlindungan dari gangguan gaib seperti Dhadung Awuk. Prosesi ini bukan sekadar ritual, melainkan ekspresi harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas, yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia. Berlangsung sehari penuh di Lapangan Penganom—tempat penggembalaan ternak—prosesi ini melibatkan seluruh warga dalam gotong royong, mulai dari persiapan hingga penutup yang meriah.

Persiapan Gotong Royong

Prosesi dimulai dengan persiapan intensif oleh masyarakat. Beberapa hari sebelumnya, warga secara bergotong royong menyembelih kambing sebagai bagian dari sesaji utama. Mereka menyiapkan berbagai hidangan seperti ambengan (nasi lengkap dengan lauk-pauk), jenang (bubur manis), buceng (tumpeng besar berisi sayur dan lauk), serta nasi lengkong (nasi dalam anyaman bambu). Sesaji ini dibuat dari bahan lokal, melambangkan hasil bumi yang melimpah. Tali bambu bernama dhadung (atau dhadung awuk) dibuat khusus sebagai simbol perlindungan ternak. Selain itu, bekuk lengkong, anyaman dari kulit pisang yang dibentuk kotak, menjadi simbol pelumpuhan kekuatan jahat (bekuk artinya dilumpuhkan, lengkong artinya ditipu). Persiapan ini mencerminkan nilai gotong royong dan syukur, di mana setiap warga berkontribusi untuk memastikan ritual berjalan lancar.

1. Ziarah ke Makam Mbah Surogati

Rangkaian utama diawali dengan ziarah massal ke makam Mbah Surogati, sesepuh desa yang dianggap sebagai tokoh kunci dalam pengembangan tradisi Baritan. Seluruh warga, termasuk anak-anak dan orang tua, berjalan bersama menuju makam untuk memohon berkah, keselamatan, dan perlindungan. Doa bersama dipimpin oleh sesepuh atau kyai, memohon agar desa terhindar dari bencana. Ziarah ini menjadi momen penghormatan kepada leluhur, sekaligus pengingat bahwa tradisi ini diturunkan secara turun-temurun.

2. Kirab atau Arak-Arakan

Setelah ziarah, prosesi berpindah ke kirab budaya yang meriah. Dimulai dengan cucuk lampah (penari pembuka), diikuti pembawa bunga boreh, kepala desa berbusana Jawa, buceng agung (gunungan sayur raksasa), jodhang (wadah biji-bijian), warga membawa nasi lengkong dengan caping dan rinjing, serta pembawa dhadung. Puncaknya adalah sapi atau ternak yang dituntun oleh sosok simbolis Dhadung Awuk. Arak-arakan ini bergerak menuju lapangan terbuka, diiringi musik tradisional dan sorak warga. Kirab melambangkan perjalanan spiritual masyarakat, membawa sesaji sebagai persembahan dan doa tolak bala.

3. Doa Bersama dan Ujuban

Di lapangan, sesepuh memimpin doa bersama. Mereka menyiram bunga ke dhadung, memberi makan simbolis kepada ternak, dan mengujubkan (memohon) sesaji. Dhadung dipegang dan diikat pada ternak sebagai simbol perlindungan dari gangguan gaib. Ujuban dilakukan dengan mantra Jawa, memohon rezeki melimpah dan tolak bala. Tahap ini sangat sakral, di mana warga duduk melingkar sambil mendengarkan doa.

4. Makan Bersama dan Rebutan

Setelah doa, sesaji dibagikan untuk dimakan bersama. Ambengan disantap secara gotong royong, diikuti rebutan dhadung dan janur kuning. Rebutan ini menjadi simbol keberuntungan; siapa yang berhasil merebut dipercaya mendapat berkah. Momen ini penuh tawa dan kebersamaan, mempererat ikatan sosial masyarakat.

5. Pentas Seni dan Penutup

Prosesi ditutup dengan hiburan seni. Tarian tayub (tari pergaulan), Turangga Yakso (jaranan dengan kepala raksasa yang melambangkan kemenangan atas kejahatan), dan kontes kambing Peranakan Etawa menjadi penutup meriah. Turangga Yakso, yang lahir dari Baritan pada 1970-an, menampilkan gerakan dinamis simbolis pembasmian hama dan nafsu buruk. Kontes kambing menambah nilai ekonomi, sekaligus hiburan.

Upacara Baritan Salamwates bukan sekadar ritual, melainkan jembatan antara masa lalu dan masa depan. Di tengah arus globalisasi, tradisi ini tetap relevan sebagai pengingat nilai-nilai luhur seperti gotong royong, syukur, dan harmoni dengan alam. Dengan pelestarian melalui festival tahunan, Baritan diharapkan terus menjadi kebanggaan Trenggalek, menarik generasi muda untuk menjaga warisan budaya Indonesia.

Pelestarian Upacara Adat Baritan Salamwates di Trenggalek

Upacara Adat Baritan di Desa Salamwates, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, merupakan salah satu warisan budaya yang kaya makna. Tradisi ini, yang berasal dari abad ke-17, awalnya dilakukan untuk memohon perlindungan terhadap hewan ternak dari gangguan makhluk gaib seperti Dhadung Awuk. Seiring waktu, Baritan berkembang menjadi festival desa yang tidak hanya mempertahankan nilai spiritual, tetapi juga menjadi sarana pelestarian budaya. Diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, upacara ini mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan leluhur. Dalam konteks modern, pelestarian Baritan menjadi penting sebagai pengetahuan tradisional yang mendukung ketahanan masyarakat, serta sebagai ekspresi budaya yang memperkuat identitas lokal. Artikel ini akan membahas usaha pelestarian upacara ini dari dua perspektif tersebut, berdasarkan praktik dan inisiatif terkini hingga 2025.

Usaha Pelestarian sebagai Pengetahuan Tradisional

Pengetahuan tradisional dalam Upacara Baritan mencakup pemahaman tentang siklus alam, pengelolaan sumber daya, dan mekanisme tolak bala yang diturunkan secara lisan. Usaha pelestarian difokuskan pada transmisi pengetahuan ini ke generasi muda, agar tidak hilang di tengah modernisasi. Pemerintah Kabupaten Trenggalek, melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, telah mengintegrasikan Baritan ke dalam program pendidikan budaya. Misalnya, sejak 2022, sekolah-sekolah di Dongko memasukkan materi tentang Baritan dalam kurikulum muatan lokal, termasuk workshop pembuatan sesaji seperti ambengan dan dhadung. Hal ini bertujuan menjadikan pengetahuan tradisional sebagai alat adaptasi terhadap perubahan iklim, seperti kekeringan yang sering melanda Trenggalek.

Salah satu inisiatif utama adalah Festival Adat Baritan yang digelar tahunan. Pada 2024, festival ini diadakan pada 22 Juli, melibatkan mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) dalam sosialisasi inovasi lingkungan. Mereka memperkenalkan teknologi ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik dari limbah sesaji, yang selaras dengan pengetahuan tradisional tentang kesuburan tanah. Festival ini bukan hanya pesta, tapi juga ruang edukasi, di mana sesepuh desa berbagi cerita asal-usul Baritan melalui seminar dan diskusi. Pada 2025, festival diperluas dengan kolaborasi Lembaga Pengembangan Kemasyarakatan Daerah (LPKD), yang menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat untuk melestarikan nilai gotong royong. Studi kasus dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel menunjukkan bahwa Baritan sebagai pengetahuan tradisional telah membantu masyarakat mengatasi pagebluk (wabah) pada ternak, dengan ritual yang menggabungkan doa dan praktik higienis tradisional.

Selain itu, dokumentasi digital menjadi bagian krusial. Desa Salamwates bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Jawa Timur untuk membuat arsip video dan foto prosesi Baritan, yang diunggah ke platform seperti YouTube. Pada 2024, video Festival Adat Baritan mencapai ribuan penonton, membantu penyebaran pengetahuan ke luar daerah. Inisiatif ini juga melibatkan komunitas pemuda, seperti Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), yang mengadakan tur budaya untuk wisatawan. Hasilnya, pengetahuan tentang simbol-simbol seperti Bekuk Lengkong (pelumpuhan kekuatan jahat) tetap hidup, sambil mendukung ekonomi desa melalui ekowisata. Namun, tantangan seperti urbanisasi membuat pelestarian ini memerlukan dukungan berkelanjutan dari pemerintah pusat.

Upacara Baritan sebagai Ekspresi Budaya Tradisi

Sebagai ekspresi budaya tradisi, Baritan mewakili identitas Jawa yang kental dengan nilai syukur, harmoni, dan seni. Prosesi seperti kirab, ziarah makam Mbah Surogati, dan pentas Turangga Yakso (tarian kuda lumping) adalah bentuk ekspresi yang menggabungkan spiritualitas dan hiburan. Pada 2025, tiga karya Trenggalek, termasuk Baritan, diakui sebagai WBTB Indonesia, memperkuat posisinya sebagai simbol budaya nasional. Ekspresi ini tidak statis; ia berevolusi dengan elemen kontemporer, seperti integrasi musik modern dalam tayub, tanpa menghilangkan esensi tradisi.

Usaha pelestarian sebagai ekspresi budaya melibatkan partisipasi masyarakat luas. Di Festival Baritan 2025, mahasiswa UM mensosialisasikan nilai lingkungan melalui seni, seperti pameran lukisan tentang Dhadung Awuk. Ini menjadikan Baritan sebagai media ekspresi yang mendidik tentang pelestarian alam. Selain itu, acara seperti kontes kambing Peranakan Etawa menggabungkan tradisi dengan ekonomi, memperkaya ekspresi budaya dengan aspek praktis. Menurut penelitian dari Universitas Negeri Surabaya, Baritan sebagai ekspresi tradisi memperkuat ikatan sosial, di mana gotong royong dalam persiapan sesaji menjadi manifestasi nilai kebersamaan.

Pemerintah daerah juga mendukung melalui dana desa, yang dialokasikan untuk pelatihan seni tradisional. Pada 2024, Kecamatan Dongko mengadakan workshop Turangga Yakso untuk anak muda, memastikan ekspresi budaya ini terus hidup. Media sosial seperti Instagram turut berperan, dengan postingan tentang Baritan yang viral, menarik wisatawan dan memperluas jangkauan ekspresi budaya. Tantangan seperti pengaruh globalisasi diatasi dengan inovasi, seperti adaptasi ritual untuk generasi milenial, sehingga Baritan tetap relevan sebagai ekspresi identitas Trenggalek.

Pelestarian Upacara Adat Baritan di Trenggalek menunjukkan komitmen masyarakat dalam menjaga warisan leluhur. Sebagai pengetahuan tradisional, ia memberikan solusi adaptif terhadap tantangan modern; sebagai ekspresi budaya, ia memperkaya kehidupan sosial dan spiritual. Dengan dukungan kolektif, Baritan diharapkan terus lestari, menjadi inspirasi bagi daerah lain di Indonesia. Di era digital, integrasi teknologi dengan tradisi akan semakin memperkuat posisinya, memastikan generasi mendatang tetap terhubung dengan akar budaya mereka.

Hambatan Pelestarian Upacara Adat Baritan Salamwates di Kabupaten Trenggalek

Upacara Adat Baritan di Desa Salamwates, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, merupakan tradisi leluhur yang kaya makna spiritual dan sosial. Ritual ini, yang berasal dari abad ke-17, bertujuan memohon perlindungan terhadap hewan ternak (rojo koyo) dari gangguan gaib seperti Dhadung Awuk, sekaligus ungkapan syukur atas hasil panen. Diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia, Baritan melibatkan prosesi seperti ziarah, kirab, doa bersama, dan pentas seni seperti Turangga Yakso. Namun, di tengah arus modernisasi, pelestarian tradisi ini menghadapi berbagai hambatan. Meski festival tahunan seperti yang digelar pada 2024 dan 2025 berhasil menghidupkannya kembali, tantangan struktural dan sosial mengancam keberlangsungannya. Artikel ini membahas hambatan-hambatan tersebut berdasarkan studi dan pengamatan terkini hingga 2025, dengan harapan mendorong upaya mitigasi.

Pengaruh Modernisasi dan Globalisasi

Salah satu hambatan utama adalah derasnya arus modernisasi yang mengubah pola hidup masyarakat. Di Trenggalek, urbanisasi dan pengaruh budaya luar membuat generasi muda lebih tertarik pada gaya hidup kontemporer, seperti media sosial dan hiburan digital, daripada ritual tradisional. Modernisasi ini menyebabkan pergeseran elemen ritual, misalnya penggantian wadah sesaji dari debog (batang pisang) menjadi baskom atau rantang modern, serta penyimpanan uang sumbangan dalam amplop alih-alih secara langsung. Perubahan ini, meski adaptif, berisiko mengikis esensi autentik Baritan, membuatnya tampak kurang relevan di mata anak muda. Selain itu, globalisasi membawa nilai-nilai individualis yang bertentangan dengan gotong royong, inti dari persiapan Baritan seperti penyembelihan kambing dan pembuatan ambengan. Akibatnya, partisipasi warga menurun, terutama di kalangan pemuda yang migrasi ke kota untuk pekerjaan, meninggalkan desa dengan populasi lansia yang mendominasi.

Kurangnya Minat dan Partisipasi Generasi Muda

Generasi muda menjadi kunci pelestarian, namun perubahan orientasi nilai mereka menjadi ancaman serius. Banyak pemuda Salamwates menganggap Baritan sebagai kegiatan kuno atau kurang menarik, dipengaruhi oleh pendidikan formal yang lebih menekankan ilmu pengetahuan modern daripada kearifan lokal. Tantangan ini diperburuk oleh kurangnya transmisi pengetahuan dari sesepuh, di mana tradisi hanya diturunkan secara lisan tanpa dokumentasi sistematis. Jika generasi penerus tidak menghargai, tradisi ini berisiko punah. Studi menunjukkan bahwa meski pemuda terlibat dalam festival, keterlibatan mereka sering superficial, lebih sebagai hiburan daripada pemahaman mendalam. Pandemi COVID-19 pada 2020 memperburuk hal ini, karena pembatasan gatherings menghentikan ritual, membuat generasi muda semakin jauh dari praktik langsung.

Desakralisasi dan Persepsi Negatif

Desakralisasi makna ritual menjadi hambatan krusial, di mana Baritan yang semula sakral sebagai tolak bala kini dilihat sebagai sekadar pesta rakyat. Pengaruh agama modern dan pandangan luar yang menganggapnya mistis atau takhayul mempercepat proses ini, terutama di kalangan pemuda yang terpapar budaya sekuler. Persepsi negatif ini menyebabkan penurunan nilai spiritual, di mana sesaji seperti dhadung awuk dan bekuk lengkong kehilangan makna simbolisnya sebagai pelindung ternak. Di masyarakat luar Trenggalek, label “mistis” membuat Baritan sulit dipromosikan sebagai wisata budaya, menghambat dukungan eksternal. Akibatnya, ritual ini rentan terhadap desakralisasi, di mana elemen spiritual digantikan oleh aspek hiburan semata, seperti kontes kambing Peranakan Etawa.

Kendala Biaya dan Dukungan Institusional

Biaya tinggi menjadi penghalang historis. Pada 1960-an, Baritan dihentikan karena biaya persiapan yang mahal, ditambah ketidakstabilan politik pasca-Gerakan 30 September 1965 yang melarang kerumunan besar. Meski dihidupkan kembali pada 1972 melalui gotong royong, tantangan finansial tetap ada, terutama untuk festival skala besar yang melibatkan ribuan peserta. Dana desa dari pemerintah kabupaten sering tidak cukup, dan ketergantungan pada sumbangan warga membuat pelaksanaan rentan terhadap kondisi ekonomi. Selain itu, kurangnya dukungan institusional seperti pelatihan formal atau integrasi ke kurikulum sekolah menghambat edukasi. Meski ada inisiatif seperti kolaborasi dengan Universitas Negeri Malang pada 2025 untuk sosialisasi lingkungan, program ini belum menjangkau semua lapisan.

Gangguan Eksternal dan Kurangnya Dokumentasi

Gangguan eksternal seperti bencana alam, politik, dan pandemi sering menginterupsi pelaksanaan. COVID-19 pada 2020 menjadi contoh, di mana larangan berkumpul menghentikan ritual, menyebabkan jeda yang memutus rantai transmisi budaya. Selain itu, kurangnya dokumentasi digital membuat pengetahuan tentang prosesi, seperti ziarah ke makam Mbah Surogati atau ujuban, bergantung pada ingatan sesepuh. Tanpa arsip video atau buku, tradisi ini rawan hilang jika generasi tua meninggal. Perubahan iklim di Trenggalek, seperti kekeringan, juga mengancam, karena Baritan terkait ketahanan pangan dan alam.

Pelestarian Upacara Adat Baritan Salamwates menghadapi hambatan kompleks, dari modernisasi hingga biaya. Namun, dengan strategi seperti integrasi pendidikan, promosi wisata, dan dokumentasi digital, tradisi ini bisa bertahan. Pemerintah Trenggalek dan masyarakat harus berkolaborasi untuk menjaga warisan ini sebagai identitas budaya Jawa Timur. Di era 2025, inovasi seperti festival hybrid bisa menjadi solusi, memastikan Baritan tetap relevan bagi generasi mendatang.

Tinggalkan komentar